Minggu, 01 Agustus 2010

kebenaran dan cita-cita

Add caption
Dalam sebuah percaturan perpolitikan kampus, setiap “elemen” hampir pasti mempunyai keinginan kuat mampu menancapkan cengkraman “kuku-kukunya”, baik itu melewati lembaga internal kampus ataupun melewati pengkaderan “oposisi”. Tak terkecuali dalam hal ini adalah Komunitas Islami dengan jenggot tipis menghiasi janggutnya, dan “Jidah Ireng” tak mau kalah menjadi simbol komunitasnya. Begitu pula dengan kaum hawanya, jilbab lebar dengan potongan blues yang tak mau ketinggalan “mode” seakan menjadi simbol bagi Komunitas tersebut.
Dengan segenap idealisme yang tinggi berusaha mewujudkan Masyarakat Madani* yang dalam bahasa keseharian Masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai keislaman (versi siapa?).
Ketika kondisi kader akhwat mengalami lonjakan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas dan kuantitas, tetapi tidak diikuti jumlah kader ikhwan, maka mau tidak-mau akan terjadi ketimpangan dalam usaha menancapkan “hegemoni”nya.
Dalam sebuah pemilihan calon ketua sebuah Himpunan Mahasiswa, (tentunya melalui pemungutan suara), lantaran tidak adanya calon ikhwan yang mempunyai kapabilitas siap menerima tampuk kekuasaan, maka majulah seorang akhwat mencalonkan dirinya. Entah lantaran semangat dari dalam diri yang begitu membara, atau karena memang sudah di “proyeksikan” untuk menduduki jabatan tersebut.
Si akhwat (yang notebene dari komunitas ane-antum) bertarung habis-habisan dalam pemilihan tersebut dengan seorang calon laki-laki dari Komunitas “Lo-Gue”. Dalam akhir acara dimenangkan oleh Akhwat Super, tentunya dengan dukungan dari grass root nya.
Pada suatu ketika seorang akhi, dengan nada kalah keras dari si akhwat bergumam “Ini orang katanya mau memperjuangkan syariat hingga terbentuk masyarakat madani*, tapi kok Akhwat (baca : Perempuan) jadi pemimpin di sebuah organisasi yang anggotanya tidak hanya berasal dari kaumnya saja yach, lagian setahuku zaman Para Shahabat dan Ulama-Ulama Sholih lagi terpercaya tidak ada  yang menyerukan untuk beramai-ramai memilih calon si A atau si B untuk duduk di kursi kepemimpinan. Bahkan kebanyakan dari mereka menolak untuk diserahi jabatan. Lha Apakah dengan begitu masih layak disebut memperjuangkan syariat, padahal syariat yang ada dicampakkan begitu saja”.
Hmm, dunia sekarang memang membingungkan !.  Susah dan amat sedikit sekali orang mampu mengatakan hitam putihnya sebuah kebenaran dan cita-cita. Atau memang  seseorang telah dipaksa oleh keadaan sehingga terjerumus dalam abu-abu.
Mungkin dilain fihak, bisa jadi awalnya sebuah keterpaksaan mengambil jalan pintas (baca : abu-abu), tetapi tak selalu kondisi terpaksa akan senantiasa sama. Melihat kedudukan yang mentereng membuat manusia seakan LUPA akan kondisi terpaksanya, sehingga berusaha mencari dalih pembenaran atas apa yang diperbuatnya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar